Biografi Misionaris: Henry Martyn: Saksi Kristus di Tanah Arab

Henry Martyn dilahirkan dari seorang ayah yang bekerja
sebagai pedagang, kaya raya, terhormat, sering mengisi waktu luangnya
dengan persekutuan doa, dan belajar matematika. Sayang sekali, Martyn
mewarisi kondisi kesehatan yang buruk dari ibunya. Penyakit TBC yang
membunuh ibunya dan dua saudara perempuannya, menjadi penyebab
kematiannya. Meskipun begitu, ayah Martyn memiliki harapan besar kepada
Martyn, karena mereka memiliki kesamaan yaitu kecepatan berpikir dan
kecintaannya akan belajar. Di sekolah, Martyn memiliki prestasi yang
baik dan kemampuan yang tinggi. Meskipun ada kalanya dia gagal karena
kemalasannya, tetapi dia bisa bangkit dan menonjol dalam prestasi
akademisnya. Dia dikenal di kampusnya (Cambridge) sebagai “seorang yang tidak pernah melewatkan satu jam pun dengan sia-sia”.
Seorang panutannya bernama John Kempthorne yang memacunya demikian.
Kempthorne menasihatkan Martyn bahwa ketika menempuh studi, Martyn
seharusnya mencari pujian dari Allah, bukan dari manusia. Bagi Martyn,
itu hal yang kelihatannya masuk akal. Itu terjadi pada waktu Martyn
berumur 18 tahun, sebelum ia menyadari bahwa pengetahuan tentang Allah
mampu memengaruhi seluruh aspek kehidupannya.
Martyn bertumbuh
sebagai seorang yang sombong dan tidak peduli dengan hal rohani. Namun
ada tiga peristiwa besar yang memengaruhi pertobatannya, yakni adik
perempuannya, kematian ayahnya, dan bimbingan dari John Kempthorne. Adik
perempuannya sering menasihati dan mendoakan Martyn. Kematian ayahnya
sewaktu Martyn berumur 19 tahun membuatnya tergerak dengan segala
perkataan ayahnya ketika ayahnya masih hidup. Ia sadar tentang dunia
setelah kematian, dan akhirnya tidak bisa konsentrasi lagi di matematika
dan membuka Alkitabnya karena dia berpikir bahwa saat yang serius ini
lebih cocok memikirkan masalah agama. Sejak saat itu melalui Kempthorne,
dia merasakan Kitab Kisah Para Rasul memikatnya semakin mendalam.
Martyn mulai berdoa dan membaca Alkitab dengan rajin. Allah yang
sebelumnya bagi dia merupakan sebuah ide, sekarang menjadi nyata dan
dapat memanggil-Nya “Bapa”. Ia mulai berdoa, menikmati waktu doanya, dan
menaklukkan diri dengan sukacita menaati kehendak Allah.
Setelah
bertobat dan lulus dalam ilmu matematika, dia pun mulai mencari
panggilan profesinya. Dia mulai tertarik belajar hukum, tetapi juga
memperoleh pengetahuan betapa pentingnya pelayanan sebagai pendeta. Di
dalam dilema itu, dia dikuatkan oleh Kitab Yesaya yang dibacanya,
sehingga dia membuat keputusan untuk menyerahkan hidupnya sebagai
pelayan Tuhan. Keinginannya sekarang adalah hanya melayani Tuhan.
Tuhan
mengatur potensi pelayanannya melalui Pendeta Simeon, sehingga Martyn
dijadikan pendeta pembantu di Trinity Church. Sekalipun itu menyukakan
hati Martyn, ia tahu bahwa ia akan banyak kehilangan popularitas dan
penghargaan. Ia sempat malu bahwa dia adalah hamba Tuhan yang membantu
Simeon. Sebab pada waktu mengambil keputusan itu, dia adalah seorang
yang terpelajar dan dikenal masyarakat. Lulusan matematika, sarjana
klasik yang menonjol, penguji di universitas, dan tidak ada seorang pun
yang tidak mengetahui kecemerlangannya. Akan tetapi, semua pencapaian
itu tidak berarti lagi bagi Martyn. Dia hanya ingin fokus melayani
Tuhan.
Di dalam ketertarikan Martyn kepada pelayanan misi,
misionaris David Brainerd muncul dalam pergumulannya. Dia membaca buku
hariannya dan sangat tergerak mengetahui bahwa Brainerd pernah
mengabarkan Injil kepada orang-orang Indian dalam ketidaknyamanan dan
penderitaan. Brainerd meninggal karena penyakit TBC dalam usia 29 tahun.
Martyn berkata, “Saya merasa hati saya terajut dengan pria tersebut
dan merasa bersukacita ketika saya memikirkan akan bertemu dengannya di
sorga. Saya rindu menjadi seperti dia; biarkan saya melupakan dunia,
dan tertelan habis oleh kerinduan untuk memuliakan Allah.”
Perjalanan hidup Martyn, tidak jauh berbeda dengan Brainerd. Umur mereka
di dunia terpaut hanya dua tahun saja, Martyn meninggal di usia 31
tahun, di Tanah Arab.
Perjalanan Martyn menjadi misionaris, juga bukanlah hal mudah. Martyn mengalami kesulitan dan penderitaan, tetapi panggilannya memiliki dasar yang kokoh sehingga dia bisa bertahan menghadapi semua rintangan yang ada. Pada umurnya yang ke-21, perlahan-lahan dia yakin bahwa Allah memanggilnya untuk pekerjaan misi di luar negeri. Martyn harus menjadi seorang misionaris.
Dia memulai pendekatan pertama kepada lembaga misi The Society for Missions to Africa and East. Martyn mulai mendaftarkan diri dan memiliki kesempatan untuk mendaftar sebagai pendeta di East India Company yang memberikan penghasilan besar. Di perusahaan tersebut, dia bukan hanya bisa melayani orang Eropa, tetapi juga memiliki kesempatan untuk melayani orang-orang India. Namun sebuah keputusan tidak terduga bahwa Martyn menolak tawaran tersebut, meskipun akhirnya selama beberapa waktu Martyn menjadi pendeta di East India Company agar Martyn tetap dapat berada di India. Alasan dia menolak sebagai pendeta di EIC adalah, “Prospek kebahagiaan dunia lebih memberikan kesakitan kepada saya daripada kesenangan, saya akan jauh lebih senang pergi ke luar sebagai seorang misionaris yang miskin seperti Kristus dan murid-murid-Nya.” Inilah perkataan seorang yang dua tahun sebelumnya masih tidak setuju untuk miskin demi Kristus!
Kesulitan yang dialami Martyn dimulai sejak keberangkatannya dari Inggris ke India. Mulai dari pelabuhan, lautan, dan daratan; kesusahan demi kesusahan dialami oleh Martyn. Ketika dia meninggalkan Inggris, dia memikirkan semua orang yang dicintainya, keluarganya, teman-temannya, dan seorang wanita yang dicintainya, Lydia Grenfell.
Lydia adalah seorang wanita yang sejak pertobatannya, menjadi saleh dan aktif dalam pelayanan Kristen. Ia mengunjungi orang miskin dan orang sakit di wilayah sekitar gerejanya, memberikan pertolongan praktis dan membaca Alkitab serta berdoa bersama mereka. Teman Martyn mengatakan Lydia adalah seseorang yang sangat tepat bagi Martyn. Ketika Martyn berumur 23 tahun, Martyn pernah menghabiskan waktu bersama Lydia. Mereka berjalan-jalan, mengunjungi orang sakit bersama-sama, dan membicarakan hal-hal rohani. Bahkan ketika bersama Lydia dan bercakap-cakap dengannya, Martyn mengalami pergumulan bahwa dirinya sedang memberhalakan Lydia. Sebab perasaan keterikatannya dengan Lydia menyebabkan hilangnya perasaan akan kehadiran Allah. Namun Martyn jelas sekali bahwa dia mencintai wanita ini. Martyn ingin melamarnya, dan ingin agar Lydia ikut ke India juga. Di tengah perasaan yang seperti ini, Martyn harus pergi ke pelabuhan dan meninggalkan Lydia untuk selama-lamanya.
Perjalanan Martyn menjadi misionaris, juga bukanlah hal mudah. Martyn mengalami kesulitan dan penderitaan, tetapi panggilannya memiliki dasar yang kokoh sehingga dia bisa bertahan menghadapi semua rintangan yang ada. Pada umurnya yang ke-21, perlahan-lahan dia yakin bahwa Allah memanggilnya untuk pekerjaan misi di luar negeri. Martyn harus menjadi seorang misionaris.
Dia memulai pendekatan pertama kepada lembaga misi The Society for Missions to Africa and East. Martyn mulai mendaftarkan diri dan memiliki kesempatan untuk mendaftar sebagai pendeta di East India Company yang memberikan penghasilan besar. Di perusahaan tersebut, dia bukan hanya bisa melayani orang Eropa, tetapi juga memiliki kesempatan untuk melayani orang-orang India. Namun sebuah keputusan tidak terduga bahwa Martyn menolak tawaran tersebut, meskipun akhirnya selama beberapa waktu Martyn menjadi pendeta di East India Company agar Martyn tetap dapat berada di India. Alasan dia menolak sebagai pendeta di EIC adalah, “Prospek kebahagiaan dunia lebih memberikan kesakitan kepada saya daripada kesenangan, saya akan jauh lebih senang pergi ke luar sebagai seorang misionaris yang miskin seperti Kristus dan murid-murid-Nya.” Inilah perkataan seorang yang dua tahun sebelumnya masih tidak setuju untuk miskin demi Kristus!
Kesulitan yang dialami Martyn dimulai sejak keberangkatannya dari Inggris ke India. Mulai dari pelabuhan, lautan, dan daratan; kesusahan demi kesusahan dialami oleh Martyn. Ketika dia meninggalkan Inggris, dia memikirkan semua orang yang dicintainya, keluarganya, teman-temannya, dan seorang wanita yang dicintainya, Lydia Grenfell.
Lydia adalah seorang wanita yang sejak pertobatannya, menjadi saleh dan aktif dalam pelayanan Kristen. Ia mengunjungi orang miskin dan orang sakit di wilayah sekitar gerejanya, memberikan pertolongan praktis dan membaca Alkitab serta berdoa bersama mereka. Teman Martyn mengatakan Lydia adalah seseorang yang sangat tepat bagi Martyn. Ketika Martyn berumur 23 tahun, Martyn pernah menghabiskan waktu bersama Lydia. Mereka berjalan-jalan, mengunjungi orang sakit bersama-sama, dan membicarakan hal-hal rohani. Bahkan ketika bersama Lydia dan bercakap-cakap dengannya, Martyn mengalami pergumulan bahwa dirinya sedang memberhalakan Lydia. Sebab perasaan keterikatannya dengan Lydia menyebabkan hilangnya perasaan akan kehadiran Allah. Namun Martyn jelas sekali bahwa dia mencintai wanita ini. Martyn ingin melamarnya, dan ingin agar Lydia ikut ke India juga. Di tengah perasaan yang seperti ini, Martyn harus pergi ke pelabuhan dan meninggalkan Lydia untuk selama-lamanya.
Perjalanan laut merupakan perjalanan yang tidak nyaman dan
sangat berbahaya. Martyn menggunakan kapal dagang untuk ke India,
dikawal dengan empat kapal perang di mana satu kapal perang memuat
ribuan prajurit. Di sanalah Martyn pertama kali merasakan medan
pertempuran antara Inggris dan Belanda yang memperebutkan Cape Town di
Afrika. Bukan hanya itu, Martyn juga sempat ditetapkan sebagai pendeta
kapal perang karena Martyn satu-satunya pendeta di antara mereka. Ia
hampir tidak dapat dikatakan cocok untuk jemaat di kapal itu. Jemaat
kapal itu pun kurang menerima pelayanannya. Martyn adalah seorang
akademisi, dia begitu terpelajar, pandai matematika, tekun mempelajari
berbagai bahasa, sehingga betapa pun ia berusaha menyederhanakan
khotbahnya, itu masih terlalu sukar bagi pendengarnya. Awak kapal yang
mengerti khotbahnya memberi saran untuk tidak bicara soal hukuman neraka
dan menginginkan Martyn berkhotbah tentang moralitas seperti yang biasa
mereka dengar. Namun Martyn tetap berkhotbah mengenai natur manusia
yang berdosa, penghukuman, pertobatan, dan betapa pentingnya manusia
untuk mengenal kasih dan murka Allah. Martyn terus dengan setia melayani
jemaat kapal perang tersebut. Dia mengunjungi prajurit yang sakit, luka
akibat perang, narapidana, dan sebagainya. Dia menghadapi kotor dan
baunya kapal tersebut, mengalami sakit penyakit dan kelelahan. Awak-awak
kapal melihat Martyn sebagai seorang antusias yang gila. Di tengah
kesulitan pelayanannya itu, sering kali perlawanan dari orang sekitar
membuatnya menarik diri. Ia merasa tidak mampu, takut, dan yang terberat
baginya adalah dia sendirian di sana. Ketika hal itu terjadi, Martyn
benar-benar merasa perlu untuk meningkatkan rasa kebergantungannya yang
penuh kepada Allah. Tuhan menyatakan penyertaan-Nya. Di tengah
pelayanannya yang begitu sulit, Tuhan memberikan penghiburan. Pelayanan
Martyn menghasilkan buah yang nyata. Beberapa orang tertarik dan mereka
mau bergabung dalam persekutuan kabin yang diadakan Martyn secara rutin.
Di samping perjalanan laut yang dihadapinya, Martyn berdoa untuk India. Dia sudah mempersiapkan diri dengan mempelajari bahasa Hindustan untuk mendukung pelayanannya di India. Ketika sampai di daratan India, pelabuhan Madras, Martyn melihat pria, wanita, anak-anak yang semuanya pemuja berhala. Bagi Martyn, itu adalah sebuah kegemetaran, seakan-akan dia berada di dalam kekuasaan pangeran kegelapan. Martyn ingin melihat ketidaksukaan Allah terhadap kondisi orang-orang di India. Kemudian Martyn melanjutkan perjalanannya untuk pergi ke Calcutta. Di Calcutta, Martyn mempertahankan statusnya sebagai pendeta dan berkumpul dengan para pendeta lainnya. Akan tetapi para pendeta lainnya tidak pernah memikirkan orang India. Yang diinginkan Martyn adalah terjun ke dalam komunitas orang-orang India dan mengabarkan Injil kepada mereka. Ketika Martyn di India, Martyn tidak henti-hentinya mempelajari bahasa Hindustan, Persia, dan Bengali. Dia juga berdiskusi, membagikan ratusan traktat, berdebat dengan para ahli agama Hindu maupun Islam di sana, dia juga sering kali mencatat burung dan hewan aneh di buku hariannya. Dia adalah seorang yang tidak pernah berhenti untuk belajar segala sesuatu dan tidak pernah berhenti untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang India dan sekitarnya.
Di dalam proses pelayanannya, Martyn tahu bahwa jika ingin benar-benar berdampak, maka dia perlu membuat terjemahan Alkitab ke dalam bahasa orang-orang India. Di momen itu, dia yakin bahwa tujuan utama dalam hidupnya adalah pekerjaan penerjemahan. Dengan kemampuan linguistik dan kecintaannya kepada bahasa, dia mampu menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Hindustan, Sanskerta, dan Persia. Proses penerjemahan ini pun bukan hal yang mudah, Martyn harus benar-benar menguasai bahasa daerah tersebut agar terjemahannya dapat dimengerti. Tuhan memberikan jalan kepada Martyn melalui beberapa orang temannya yang memiliki kemampuan bahasa, sehingga dia dapat berdiskusi ketika menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru. Di kemudian hari, ide untuk pergi ke Arab muncul dalam pikirannya. Ide untuk pergi ke Tanah Arab benar-benar memenuhi hatinya dan akhirnya Martyn memutuskan untuk pergi ke Arab. Tidak hanya itu, dia menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Arab juga. Ketika akhirnya Martyn memutuskan untuk pergi ke Arab, rekan Martyn mengatakan, “Kiranya api pelayanan Anda dapat bertahan lama dan berkobar lebih lama di Arab daripada di India.” Dalam semangat pelayanannya ke Arab, Martyn mengatakan, “Sekarang biarkan saya terbakar habis untuk Tuhan.” Pada tahun 1811, di usianya yang ke-30, ia segera naik kapal dari Bombay, meninggalkan India dan pergi ke Baghdad. Setelah perginya dari Bombay, ia hampir tidak pernah menggunakan bahasa ibunya lagi (bahasa Inggris).
Di daerah Timur Tengah, Martyn menghadapi budaya dan masyarakat yang baru. Mayoritas umat Muslim dan orang-orang ini mendengar Yesus Kristus sebatas nabi yang di bawah nabi Muhammad. Ketika dia sampai di Persia (Iran), dia benar-benar seperti orang Persia dengan menggunakan pakaian Persia. Dia kemudian melakukan perjalanan menggunakan kuda ke tempat sarjana dan sastrawan Muslim (Shiraz) dan itu bukanlah perjalanan yang mudah. Di tengah panas terik siang hari dan dinginnya malam membuat keadaan fisik Martyn semakin melemah. Sesampainya di Shiraz, Martyn menghabiskan waktu untuk penerjemahan Alkitab dan memulihkan kondisi fisiknya. Dalam waktu 8,5 bulan Martyn menyelesaikan terjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, sambil mempersiapkan diri berangkat ke Arab. Martyn menjadi berkat bagi orang-orang Muslim di Shiraz akibat diskusi dan kesalehan hidupnya.
Di samping perjalanan laut yang dihadapinya, Martyn berdoa untuk India. Dia sudah mempersiapkan diri dengan mempelajari bahasa Hindustan untuk mendukung pelayanannya di India. Ketika sampai di daratan India, pelabuhan Madras, Martyn melihat pria, wanita, anak-anak yang semuanya pemuja berhala. Bagi Martyn, itu adalah sebuah kegemetaran, seakan-akan dia berada di dalam kekuasaan pangeran kegelapan. Martyn ingin melihat ketidaksukaan Allah terhadap kondisi orang-orang di India. Kemudian Martyn melanjutkan perjalanannya untuk pergi ke Calcutta. Di Calcutta, Martyn mempertahankan statusnya sebagai pendeta dan berkumpul dengan para pendeta lainnya. Akan tetapi para pendeta lainnya tidak pernah memikirkan orang India. Yang diinginkan Martyn adalah terjun ke dalam komunitas orang-orang India dan mengabarkan Injil kepada mereka. Ketika Martyn di India, Martyn tidak henti-hentinya mempelajari bahasa Hindustan, Persia, dan Bengali. Dia juga berdiskusi, membagikan ratusan traktat, berdebat dengan para ahli agama Hindu maupun Islam di sana, dia juga sering kali mencatat burung dan hewan aneh di buku hariannya. Dia adalah seorang yang tidak pernah berhenti untuk belajar segala sesuatu dan tidak pernah berhenti untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang India dan sekitarnya.
Di dalam proses pelayanannya, Martyn tahu bahwa jika ingin benar-benar berdampak, maka dia perlu membuat terjemahan Alkitab ke dalam bahasa orang-orang India. Di momen itu, dia yakin bahwa tujuan utama dalam hidupnya adalah pekerjaan penerjemahan. Dengan kemampuan linguistik dan kecintaannya kepada bahasa, dia mampu menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Hindustan, Sanskerta, dan Persia. Proses penerjemahan ini pun bukan hal yang mudah, Martyn harus benar-benar menguasai bahasa daerah tersebut agar terjemahannya dapat dimengerti. Tuhan memberikan jalan kepada Martyn melalui beberapa orang temannya yang memiliki kemampuan bahasa, sehingga dia dapat berdiskusi ketika menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru. Di kemudian hari, ide untuk pergi ke Arab muncul dalam pikirannya. Ide untuk pergi ke Tanah Arab benar-benar memenuhi hatinya dan akhirnya Martyn memutuskan untuk pergi ke Arab. Tidak hanya itu, dia menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Arab juga. Ketika akhirnya Martyn memutuskan untuk pergi ke Arab, rekan Martyn mengatakan, “Kiranya api pelayanan Anda dapat bertahan lama dan berkobar lebih lama di Arab daripada di India.” Dalam semangat pelayanannya ke Arab, Martyn mengatakan, “Sekarang biarkan saya terbakar habis untuk Tuhan.” Pada tahun 1811, di usianya yang ke-30, ia segera naik kapal dari Bombay, meninggalkan India dan pergi ke Baghdad. Setelah perginya dari Bombay, ia hampir tidak pernah menggunakan bahasa ibunya lagi (bahasa Inggris).
Di daerah Timur Tengah, Martyn menghadapi budaya dan masyarakat yang baru. Mayoritas umat Muslim dan orang-orang ini mendengar Yesus Kristus sebatas nabi yang di bawah nabi Muhammad. Ketika dia sampai di Persia (Iran), dia benar-benar seperti orang Persia dengan menggunakan pakaian Persia. Dia kemudian melakukan perjalanan menggunakan kuda ke tempat sarjana dan sastrawan Muslim (Shiraz) dan itu bukanlah perjalanan yang mudah. Di tengah panas terik siang hari dan dinginnya malam membuat keadaan fisik Martyn semakin melemah. Sesampainya di Shiraz, Martyn menghabiskan waktu untuk penerjemahan Alkitab dan memulihkan kondisi fisiknya. Dalam waktu 8,5 bulan Martyn menyelesaikan terjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, sambil mempersiapkan diri berangkat ke Arab. Martyn menjadi berkat bagi orang-orang Muslim di Shiraz akibat diskusi dan kesalehan hidupnya.
Dari Shiraz, Martyn rencana berangkat ke Konstantinopel
(Turki) untuk melanjutkan pelayanannya, lalu ke jantung Tanah Arab. Akan
tetapi tidak disangka, perjalanan ke Konstantinopel menjadi perjalanan
terakhir dari kisah hidupnya. Dengan mengikuti rombongan orang-orang
berkuda, Martyn mengalami masalah kesehatan yang timbul berkali-kali,
sering kali Martyn terbaring dan tidak kuat berdiri, dan demam
membuatnya menghambat rombongan. Martyn dipaksa ketua rombongan untuk
berdiri dan berangkat yang membuatnya tidak ada waktu untuk istirahat.
Martyn mengatakan, “Saya hampir tidak tahu bagaimana harus mempertahankan hidup saya.”
Di hari berikutnya, Martyn tidak mengalami kesakitan dan kelelahan
perjalanan lagi, karena kisah hidupnya sudah berakhir. Salah satu
perkataan Martyn yang berulang kali dia tuliskan dalam buku hariannya
ketika penyakit mengancam jiwanya adalah, “Jika Allah mempunyai pekerjaan untuk saya lakukan, saya tidak dapat meninggal.” Di perjalanan ke Konstantinopel, Allah mengizinkan Martyn meninggal, artinya pekerjaan Martyn yang diberikan Allah sudah selesai.
Orang-orang Kristen Armenian menguburkan pendeta Inggris yang tidak
mereka kenal. Dunia bukanlah tempat yang layak bagi Martyn.
Nathanael Marvin Santino
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasiona
Sumber : www.buletinpillar.org
Nathanael Marvin Santino
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasiona
Sumber : www.buletinpillar.org
Tidak ada komentar