Berlaku Adil

Pesan ini juga pernah disampaikan oleh nabi Musa
kepada Yosua di tengah-tengah kehidupan sejarah umat pilihan Tuhan,
yakni Israel, tatkala tongkat estafet kepemimpinan segera akan beralih
dari Musa kepada Yosua, maka Musa berpesan bahwa jika mereka tiba di
Tanah Perjanjian, menetap di sana dan membangun kehidupan di segala
bidang maka nilai-nilai keadilan harus diberlakukan dan menjadi warna
yang melekat kuat serta mencolok di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pesan itu tepatnya berbunyi demikian :"Janganlah memutarbalikkan
keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab
suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan
perkataan orang-orang benar" (Ulangan 16:19).
Dalam hubungannya dengan kepemimpinan tersebut untuk
menata kehidupan masyarakan lebih lanjut maka mereka harus mengangkat
para hakim. Hakim dalam kehidupan bangsa Israel kedudukannya tidak sama
seperti yang ada dalam dunia peradilan modern. Namun esensi bahwa kasus
yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan akan dibawa kepada
hakim dan melalui proses mendengar, menimbang maka hakim yang akan
menyatakan atau memutuskan siapa yang benar dan sebaliknya. Kemudian
menjatuhkan sanksi bila ada kerugian di satu pihak dan mengupayakan
perdamaian pada kedua belah pihak. Perbedaannya adalah bahwa para hakim
Israel merangkap sebagai kepala suku. Contohnya Simson dari suku Dan
menjadi hakim dan pemimpin umat dalam menghadapi segala ancaman.
Demikian pula Salomo dari suku Yehuda menjadi hakim sekaligus raja
Israel.
Nilai-nilai keadilan, tidak hanya berlaku di dunia
peradilan tetapi juga harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan bersama, bermasyarakat dan berbangsa, harus dipraktekkan dari
hari ke hari. Nilai-nilai keadilan mengandung makna bahwa dalam suatu
kehidupan bersama bukanlah permainan untuk saling meniadakan. Artinya
dalam mencapai berbagai keberhasilan hidup di bidang sosial-ekonomi,
politik, pendidikan, budaya dan sebagainya tidak dicapai dengan
mengorbankan orang lain.
Kehidupan masyarakat yang saling meniadakan
dimotivasi oleh EGO. Ego dapat dipahami sebagai "Edging God Out" artinya
"Meminggirkan Allah". Allah dengan segala hukum dan ketetapan-Nya tidak
lagi menjadi nomor satu atau yang utama dan pertama dalam seluruh
pertimbangan dan pengambilan keputusan. Tetapi sebaliknya, kepentingan
pribadi, dan mau menang sendiri-sendiri (egoisme dan egosentrisme)
justru menjadi yang utama. Jika "Edging God Out" yang menjadi nomor satu
maka yang akan muncul di dunia pengadilan resmi maupun dalam kehidupan
sehari-hari adalah pemutarbalikkan fakta : yang hitam menjadi putih, dan
yang putih menjadi hitam, yang benar dikatakan salah dan yang salah
dikatakan benar.
Faktor-faktor yang memudahkan "Edging God Out" bisa
berkembang adalah nepotisme, kolusi dan korupsi atau suap. Karena ia
kerabat, teman dekat atau saudara maka dibela. Suap adalah faktor utama
melemahkan iman. Fakta yang tidak dapat disanggah bahwa orang hidup
membutuhkan uang, itu boleh dan dibenarkan, karena uanglah yang menjadi
faktor penunjang untuk membuat sukses dalam seluruh perjuangan dalam
mewujudkan cita-cita dan harapan. Tetapi sayangnya orang tidak merasa
cukup dan puas dan itu yang disebut serakah. Orang yang seperti itu
adalah orang yang tidak pernah dekat dan membangun komunikasi atau
berdoa secara benar kepada Tuhan. Orang yang mencintai Tuhan akan berdoa
seperti Agur bin Yake: "Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kau
tolak sebelum aku mati, yakni: jauhkanlah dari padaku kecurangan dan
kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarlah
aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang,
aku tidak menyangkal-Mu dan berkata:Siapa Tuhan itu? Atau kalau aku
miskin, aku mencuri dan mencemarkan nama Allahku" (Amsal 30:7-9).
Makna kita hidup dalam atmosfir keadilan adalah
supaya kita mengalami janji-janji Allah, hidup dalam naungan dan
berkat-berkat Tuhan. Berlakulah adil, tegakkanlah keadilan di mana saya
anda berada.
Tidak ada komentar