Merawat Iman, Menjaga Imun, Mencari Aman
Topik iman dan imun menjadi pembahasan hangat penduduk bumi. Dua hal
yang mengguncang ketenangan sekaligus keserakahan umat manusia.
Alam
seakan marah atas ketidakramahan yang selama ini diterimanya. Oleh
karena itu, untuk mengawali tulisan ini saya memulainya dengan mutiara
hikmah Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitabnya Al-Hikam tentang dua kondisi hati, syukur dan sabar.

Jika
seseorang tidak bersyukur atau lupa bagaimana cara bersyukur, maka
bersiaplah menghadapi peristiwa yang membuat hati harus bersabar. Tri Hita Karana menjadi cara bersyukur yang ditawarkan oleh ajaran Hindu dalam menjaga keseimbangan. Tri berarti tiga, Hita bermakna kebahagiaan, dan Karana
berarti penyebab. Tiga penyebab kebahagiaan itu adalah menjaga hubungan
dengan Tuhan,
menjaga hubungan dengan alam, dan menjaga hubungan dengan
sesama ciptaan Tuhan.
Sedangkan Pancasila menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia,
falsafah hidup bangsa yang berisi nilai-nilai yang tidak hanya berada
dalam ruang-ruang imajinasi, melainkan menjadi solusi dalam keberagaman
dan keberagamaan. Perbedaan tidak untuk disamakan, tapi perlu disatukan:
Bhineka Tunggal Ika.
Merawat Iman
Sebagai
orang Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, patut direnungkan
kembali pidato Bung Karno. "Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India,
kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab, kalau Kristen jangan jadi
orang Yahudi, (kalau Konghucu jangan jadi orang China), tetaplah jadi
orang Nusantara dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini. Oleh
karena itu, Hindu di India berbeda dengan yang ada di Indonesia. Hindu
di Indonesia adalah keramahan masyarakat Bali dan eksotisme Candi
Prambanan yang harus dijaga.
Mahatma Gandhi adalah seorang Hindu
yang menghormati pemikiran-pemikiran agama lain, terutama Islam dan
Kristen. Gandhi dibunuh oleh penganut agama Hindu garis keras, Nathuram
Godse, dengan alasan terlalu lunak terhadap kaum muslimin di India.
Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, seorang yang memperjuangkan
perdamaian dengan Palestina, mati terbunuh oleh tiga peluru di bagian
punggungnya oleh Yigal Amir, seorang Yahudi garis keras. Dan di
Indonesia, Gus Dur, ulama yang memperjuangkan kemanusiaan, membela agama
minoritas, dilengserkan dari kursi kepresidenan dengan siasat semut
merah oleh para penganut Islam garis keras.
Tidak ada agama yang
menghendaki perpecahan, mengajarkan permusuhan, apalagi mengajak untuk
saling menyerang agama lain. Yang ada hanyalah manusia yang mengaku
beragama atau menggunakan symbol agama tertentu untuk kepentingan
pribadi. Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi seberapa banyak
darah yang ditumpahkan atas nama agama?
Bentrokan yang terjadi di
India baru-baru ini menewaskan banyak korban, tidak hanya dari sipil
melainkan juga dari aparat keamanan. Kerusuhan ini disebabkan UU
kewarganegaraan kontroversial, Citizenship Amendment Act (CAA) yang
disahkan oleh pemerintah India pada 2019 lalu. UU ini membahas tentang
migran ilegal, namun terkandung pengecualian terhadap enam komunitas
keagamaan minoritas, salah satunya Islam. Hal tersebut bertentangan
dengan konstitusi India yang dengan tegas melarang adanya diskriminasi
agama. Kerusuhan semakin meluas dan mengkhawatirkan karena bukan lagi
tentang UU, melainkan lebih ke sektarian di mana orang yang bergamis,
berjenggot, dan memakai peci dikeroyok oleh sekelompok orang yang tidak
bertanggung jawab.
Menjaga Imun
Sejak
Presiden Joko Widodo mengumumkan dua WNI terjangkit Virus Corona
(Covid-19), sebagian masyarakat mengalami kepanikan. Namun tidak dengan
dokter Simon Yosonegoro Liem, penerima beasiswa LPDP dokter spesialis
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mahasiswa mikrobiologi ini
mengimbau masyarakat agar tidak panik menerima pemberitaan yang tidak
semuanya benar. Dokter Simon berharap agar masyarakat meningkatkan
pengetahuan dan tidak menambah kepanikan. Percaya kepada pemerintah dan
para ahli di bidang kesehatan yang terus bekerja keras mengatasi
penyakit ini. Sebelumnya, umat manusia menghadapi virus serupa yaitu
SARS-Coronavirus pada 2003 dan MERS-Coronavirus pada 2012.
Dalam
Worldometers, tingkat kematian pasien Covid-19 berbeda-beda. Pasien yang
sebelumnya memiliki riwayat penyakit jantung sebesar 10,5 %, diabetes
7,3%, paru-paru 6,3%, hipertensi 6,0%, kanker 5,6%. Tingkat kematian
pasien yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit tersebut di atas lebih
tinggi daripada yang sebelumnya sehat, hanya 0,9%. Sementara itu, dari
faktor usia, tingkat kematian orang berumur lebih dari 80 tahun sebesar
14,8%, sedangkan umur 10-39 tahun 0,2%. Artinya dari 1000 orang, maka
998 orang bertahan hidup. Pasien tua dan sakit daya tahan tubuhnya lebih
rendah daripada orang muda dan sehat. Jadi orang tua dan sakit
terinfeksi virus ini, sakitnya menjadi lebih parah dan sulit diobati.
Setiap
manusia yang sehat memiliki daya tahan tubuh alias imunitas untuk
melawan berbagai mikroba: bakteri, virus, dan jamur. Setiap hari tubuh
manusia menghirup mikroba, tetapi tidak langsung sakit. Dalam tubuh
manusia ada namanya neutrophil yang melawan bakteri dan limfosit yang melawan virus. Neutrofil ibarat seperti polisi, sedangkan limfosit seperti TNI. Semua bekerja sama melawan musuh yang masuk dalam tubuh.
Mencari Aman
Mencari
aman dalam hal iman di Indonesia, konstitusi telah menyatakan dengan
tegas dan memberikan jaminan adanya persamaan kedudukan di depan hukum.
Pasal 27 ayat 1 berbunyi, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Dalam arti, agama
tertentu di Indonesia tidak menjadikan seseorang kebal hukum atau
berlaku sewenang-wenang terhadap orang lain. Nomenklatur kafir dalam Islam, gembala yang tersesat dalam Kristen, Maitrah dalam Buddha atau Abramacaryavasa
dalam Hindu, tidak relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Namun
demikian, bukan berarti menghapus nomenklatur tersebut dalam kehidupan
beragama masing-masing.
Sementara itu, mencari aman dalam hal imun
dari Covid-19 adalah menjaga kesehatan dengan pola hidup bersih dan
sehat (PHBS) seperti cuci tangan dan tidak merokok. Tidak menyebarkan
berita yang diragukan kebenarannya. Makan bergizi, olahraga teratur dan
istirahat cukup, serta menghindari kerumunan. Pemakaian masker hanya
untuk yang sakit, sementara yang sehat supaya menjaga kondisi tubuh agar
imunitas tetap stabil. Berdoa sesuai kepercayaan masing-masing agar
terhindar dari segala macam penyakit.
Tetap semangat, tetap berdoa... Tuhan pasti menolong..!
Multimedia Ekklesia
Multimedia Ekklesia
Tidak ada komentar